Jumat, 06 Januari 2012

Surat Kecil Untuk Sahabat oleh Rizka Dewi Nur Oktaviani

Teman kecil. Sahabat saat ini, nanti dan kelak.
Teman kecil. Sahabat kini, sahabat masa depan dan sahabat untuk selamanya.

Senyum senyum itu. Tawa tawa yang mengingatkan saat masa masa indah dulu. Tak akan pernah tergantikan dan habis terlekang oleh waktu. Tangan tangan mungil yang dulu nampak ceroboh kini kian tergantikan oleh jari jari lentik nan elok. Wajah wajah apa adanya kini lambat laun terlihat gagah dan matang.
Kenangan kenangan manis dulu pun mengeruak begitu tajam. Saat kebersamaan  itu kembali disatukan. Kenangan manis? Yah.. semua terasa manis saat masa seragam merah putih itu. Kepahitan kecurangan dan kebrutalan kini terbungkus rapih dalam suatu kenangan manis yang entah sampai kapan dapat dilupakan. Atau sekedar melupakan pun tak ada satupun yang mampu?

Kebersamaan yang terhitung lebih dari usia  balita itupun telah berhasil mencuri sebagian bahkan lebih memori dalam penyimpanan - penyimpanan setiap relung ingatan. Setiap lika liku dari semua kejadian, entah apa yang saat itu dalam benak aku, dia, kita, mereka, kita, dan kami fikirkan. Tak ada satupun kekhawatiran yang diangankan. Sama sekali. Begitu tangguh dan berani memang sewaktu itu.

Peluh saat raga ini lelah terjemur matahari seharian saat bermain bersama tak pernah sama sekali terasa. Aneh memang. Sering sejenak kuputar otak, bertanya dalam benak, mungkikah, sanggupkah kita melakukan berbagai kegiatan kegiatan se-ekstrim dan se-rumit dulu? Maybe can’t for me…
Sungguh. Tak akan ada yang memungkiri. aku yakin. Semua begitu apa adanya, semua begitu tulus terjadi dan bergulir. Masih begitu lekat,  kebiasaan kebiasaan yang rutin yang setiap harinya kami lakukan. Hari demi hari dijalani dengan warna dan cerita yang berbeda. Entah mengapa semua terasa ringan. Tak ada beban. Serasa selalu bahagia dimanapun dan ketika apapun itu kejadiannya.

Arti dari kejujuran.. aku dapatkan. Arti dari sebuah kompetisi dan persaingan pun itu semua dapat aku rasakan. Rasa berbagi dalam membela kebersamaan sangat sekali membekas dalam mental pemberontak ini. Semua masih membekas indah. Pun dengan arti dari sebuah pertemanan yang berbumbu perselisihan yang berujung pada kebersamaan. Kebersamaan dalam sebuah persahabatan. Persahabatan bersama kalian - kalian pejuang pewarna masa kecil. Tak akan pernah putus. Tak akan pernah. Karena teman kecil, sahabat masa kini, masa depan, dan sahabat untuk selamanya…. :)





Sekilas Kisah Baru oleh Rizka Dewi Nur Oktaviani

Aku melihat tatap matanya. Aku menangkap jelas senyum mengembang dari sudut tatapannya itu. Walau Ia tak mengatakan apapun. Walau mulutnya sama sekali terkunci dan mungkin sedikit malas untuk banyak bicara. Tapi aku tahu, aku melihat kata yang terurai hanya dari tatap indah matanya. Cobalah kau sendiri yang tatap. Lihatlah, aku yakin jika kau tengok sekali saja dari sisi lirikannya itu dan hanya sedikit pancaran yang akan kau tangkap, namun dapat membuat mu terjatuh. Masuk kedalam perangkap dunia baru dari yang gelap menuju terang. Seolah olah seperti itu, yah seperti itulah kurang lebihnya. Aku tak dapat menjelaskan dan membayangkan yang lebih karena aku tahu tak ada sedikitpun kepandaian dalam diriku untuk merangkai dan menggabung serta menyatukan berbagai kata indah hingga dapat kau tangkap dan kau mengerti.

Lihatlah, lihatlah tatap mata itu. Garis wajah yang selalu ia pancarkan nampak penuh ketenangan dan kedamaian. Hangat penuh dekapan. Senyum ceria nya selalu mengembang, selalu terurai dalam tawa yang terasa begitu renyah, gurih bahkan. Ya.. apapun itu. Jelas akan dapat kau fahami sendiri.

***

Mereka terus berlari-lari kecil. Saling berkejaran satu sama lain. Menangkap dan memeluk erat sesesaat setelah tangan-tangan mungilnya tergapai satu sama lain. Mereka terus berlari dan berlari tiada henti. Aku melihat. Entah mengapa dapat aku nikmati semua peluh saat itu. Saat harus mengekor dan menguntit setiap kemana mereka lari. Santai tapi waspada. Entah mengapa mata-mata ini tak henti-hentinya lelah memandang. Mengawasi satu sama lain. Tak ada sedikitpun celah kebosanan yang dapat aku curi barang secuil. Entah. Aku dapat merasakannya.

Saat-saat bersama merekalah seluruh kejenuhan, penat, bosan yang telah meluluh lantahkan semua perasaan dalam hati dan fikiran ini sekejap melebur menjadi sebuah keceriaan yang tak ada henti. Bak musafir di tengah terik matahari yang berselancar dengan debu digurun pasir mendapatkan dan menemukan oasis yang begitu jernih dan menyegarkan. Yah.. sangat menyegarkan. Seperti pendaki gunung yang dapat kembali menemukan kompasnya yang telah terjatuh dan hilang, tersesat begitu lama dan tiba menemukan jalan pulang. Bagaikan semangat ditengah lautan kebosanan. Bagaikan kebahagiaan ditengah sela kesedihan. Semua tak akan dapat terselesaikan ku gambarkan dengan seribu perandaian.

****

Dalam hening  mereka diam-diam menyita perhatianku. Dalam diam mereka telah berhasil memantraiku. Hingga aku terjembab. Tertarik dalam dunia-dunianya yang semakin unik. Aku begitu sadar dan amat sangat menyadari. Taraf kedewasaan ku saat ini ternyata masih jauh dari apa-apa yang seharusnya mereka dapat dariku. Begitu pelik memang. Namun persaan ini mengatakan. “ jauh, kau masih teramatlah jauh” bisik benakku ngilu.

“apakah sudah pantas kau hah,  lihat. Tengoklah kanan dan kiri mu, mereka membutuhkan bimbingan. Hey tak akan ada yang lain, siapa? Dia, mereka, yang lain? Bukan kah ini sudah menjadi amanah mu? Kepercayaan sangat tidak sering. Sekarang sudah tiba waktu yang tepat. Benahi segala apa yang harus kau benahi. Sekarang? Yah.. sekarang ! now !”
Nyanyian jiwaku terus saja menggebu-gebu. Melantur sana, melantur sini, bicara ini, bicara itu. Ya ya ya. Aku hanya bisa menghela nafas.

Cerminku, bonekaku.. dapatkah kau mengatakan apa yang harus aku perbuat? Tolonglah jawab. Hanya pertanyaan yang satu ini saja aku meminta dan memohon. Ayolah.. katakan. Katakan apa yang ingin kau katakan tentangku. Bodoh? Tolol? Ceroboh?Egois? Pragmatis ? Psimistis? Munafik? Jahat kejam bengis? Apalagi? Ayo ayo lanjutkan Chiki. Aku akan senantiasa mendengarkanmu. Katakan. Jangan sama sekali ragu. Oh. Benar. Kamu benar Chiki. Semua yang kau katakan tadi sama sekali tidak salah.

Aku hanya dapat menunduk lesuh. Menghampiri potretan-potretan masa kecilku dahulu. Sembari tersenyum, aku tersipu melihat gambaran tempo dulu.
“andai aku bisa kembali, mungkin aku akan dapat bermain-main dengan mereka saat ini. Berputar-putar. Tertawa sana tertawa sini”
Owhh aku baru ingat, itu adalah doa-doa yang selalu aku lontarkan padaMu Rabb. Yah.. kembali kemasa itu. Membayangkan mesin waktu dapat menjemputku dan membawa pergi dari rasa jemu.
Kini aku tahu. Ternyata permintaanku telah Engkau kabulkan lewat takdir dan jalan hidupku.
Inilah duniaku  yang baru. Yang selalu menyuguhkan senyum dibalik rindu, menghadirkan tawa dikala pilu.
Kalian segalanya bagiku. Ajari aku. Teruslah bimbing dan merangkulku. Selalu menjadi kekuatanku. Inspirasiku. Pelajaran bagiku. Terimakasih banyak.
Bagi semua. dan kamu. peri-peri kecilku.. :)




Bandung, Mei 2011





DIPA

Hembusan tanah berpasir yang tertiup angin siang itu memberikan aroma kesejukan tersendiri, begitu pekat dengan debu. Namun entah mengapa butiran itu kini nampak sangat lembut, bergerak kian lincah  kesana kemari mengikuti interupsi sang gerombolan udara.
Namun warna warni dalam sekelilingnya selalu nampak  begitu tak indah. Kusam. Tak berwarna.
Lamunan setianya adalah pada sela-sela jam istirahat kantor – kantor besar menjadi waktu terfavorit untuk sejenak menjadikannya pula jam istirahat. Bangku panjang di samping sekumpulan bunga – bunga yang mengeilliingi kolam terdekat pun dipilihnya menjadi tempat sekedar melepas lelah.
******

“Akan aku beri kamu beberapa koinku, namun kamu harus berjanji terlebih dahulu akan menjadi teman setiaku. Akan selalu ku ajak kamu mengelilingi kota ini. Kita kan selalu bersama.  Janji?“ ia membisikkan celoteh – celoteh riangnya. Dalam benaknya hanya kebersaamaan bersamanyalah yang dapat mengusir rasa bosan yang selalu ia pikul tiap berlalunya detik, menit, jam, dan hari.
 “Aku tak akan pernah bosan bersamamu dan melewati hari bersamamu, karena dengan begitu aku tidak akan pernah lagi mengingat mereka orang–orang dewasa ini, biar aku ceritakan”.
Tangan mungilnya merogoh kantong baju  copang camping dan tak mempunyai warna yang jelas lagi. Pudar karena perpaduan campuran tanah dan entah kotoran–kotoran apa saja yang bergelantung menyatu pada blouse pendek berundak renda di bagian bawah yang Ia kenakakan. Ia menatap sosok gambar  yang terdapat dalam kertas lusuh yang dikeluarkannya dari dalam kain yang terjahit. Bayangannya kini menerawang, ia menengadahkan wajahnya ke langit dibawah pohon pinggiran jalan yang kasat dengan kepulan hitam asap para kuda besi yang lalu lalang dengan acuh tak memperdulikan keadaan dan situasi sekitar jalanan. Ia mulai  menenggelamkan lamunannya terhadap peristiwa – peristiwa yang lalu.

********
“ Ibu.. dimana bapak? Mengapa bapak tak pernah kunjung datang lagi menemui kita ? ibu.. Atin ingin sepatu dan tas baru seperti teman–teman, sudah 3 hari Atin berjanji akan memperlihatkan tas baru pada teman–teman. Ibu.. namun mengapa untuk pergi bersekolahpun Atin tak di bolehkan.. Ibu.. “
Yang ditanya hanya terus menggelengkan kepala tak mengeluarkan sepatah katapun sembari meneruskan melipat baju–baju di kerangjang usangnya yang kian menumpuk, sesekali ia meninggalkan buah hatinya untuk mengambil bungkusan – bungkusan plastik di ruang depan yang harus ia pisahkan dengan wadahnya. Lalu ia pun kembli dengan membawa setumpuk pakaian kusut untuk di rendam dan di bersihkan.
“Ibu.. aku ingin menonton televisi seperti yang ada di rumah iksan sebelah itu bu, oh iya. Ibu selalu terus mencuci, Ibu tidak lelah ? Mau Atin bantu ?” kembali yang ditanya hanya menggelengkan kepala lalu seraya pergi meninggalkan bocah itu sendiri menuju tempat rendaman di sumur belakang rumah.
“Ibu Atin melihat bapak membonceng perempuan cantik kemarin sore saat Atin bermain di lapang, Atin berlari berharap bapak akan berhenti di depan, tapi malah berbelok ke gang sebelah, bapak mau kemana bu?” kembali ia melontarkan pertanyaan–pertanyaan sambil mengikut di belakang setiap langkah perempuan muda yang terus hilir mudik memisahkan cucian–cucian yang telah kering.
” Ibu.. sini. Coba lihat, ini panda yang bapak belikan untuk Atin sewaktu ada pasar malam satu tahun yang lalu. Ibu.. Atin  belum  memberi tahu ibu sesuatu, telah Atin namai panda ini. Dipa bu, panda Atin Dipa. Ibu tentu ingin berkenalan dengan nya kan? Ibu belum pernah menyapanya, sini biar Atin perkenalkan. Nah.. coba ulurkan tangan Dipa, cium tangan ibu yah.. “
 ia menyodorkan satu - satunya benda kebanggaan dan kesayangan yang untuk pertama dan terakhir kali di belikan bapaknya. Entah kapan persis barang usang itu ia dapatkan, Ia hanya dapat mengingat dan mengatakan, selalu. Satu tahun yang lalu. Uluran tangan Dipa disambut oleh lemparan tangan perempuan muda yang hendak Ia perkenalkan. Alhasil Ia pun harus memungut dan membersihkan tubuh sang panda dari sentuhan tanah dalam rumahnya.  Hingga terus mendekap dan memeluknya. Tak pernah lagi sesaatpun terlepas.
********
Ia melihat lambaian tangan penuh hangat dan senyum yang mengembang, tawa yang begitu memanggil penuh keceriaan menariknya untuk melepaskan kaitan tangan mungilnya pada jijingan rowek milik perempuan muda yang sedari tadi ia temani berkeliling mencari koleksi bahan baku nasi kuning untuk didedehkan dini hari samping perempatan gang mereka tinggal.
Begitu dibuat penasaranya Ia. Sesekali dengan tatapan penuh ajak membuatnya terbawa. Ia berlari mengejar diantara keramaian dan kerumunan. Begitu cepat berlalari. Aroma asam di pasar induk sore itu tercium menyeruak begitu tajam. Karena pada sore hari, tepat waktunya pabrik kecap dan spirtus samping pasar  melimpahkan limbahnya, dibiarkan mengalir melewati sungai – sungai belakang. Masih untung kali ini air sungai masih berbentuk dan berupa wajar. Masih konsekwen terhadap warna aslinya, tidak jarang satu minggu sekali aliran sungai selain dipenuhi asam yang kecut, warna berubah menjadi hitam bercampur coklat pekat. Dan itu terpaksa terkonsumsi orang, karena meresap pada sumur–sumur tempat tinggal warga sekitar. Belum lagi kepulan asapnya yang mengindahkan langit biru menjadi abu kehitam–hitaman. Nampak begitu tak sedap di pandang.
Terus Ia mengejar dan meneliti di antara kerumunan macam manusia. Sesekali tersenyum dan tertawa geli, tak jarang kadang terkekeh sendiri melihat tingkah teman sebaya barunya yang sejak tadi Ia buntuti .
Kepulan asap kendaraan berpadu dengan udara panas semakin membawanya jauh keluar dari tempat awal yang Ia tuju. Semakin menjauh hingga terasa kaki begitu lelah.
*****
Rumah kardus pojok bawah jalan layang lah yang menjadi tempat awal perkenalan. Lama sekali awal perbincangan pertemuan mereka. Hingga larut senjapun tak kunjung selesai, sahut menyahut tak henti–hentinya saling bercerita. Kenyamanan itu terus mengalir begitu saja, Ia merasakan akan kedekatan dan kecintaan terhadap sesuatu yang selama ini tak pernah Ia rasakan. Membuatnya enggan untuk berpisah.
******
Waktu bergulir terasa begitu cepat. Tiap waktu. Tiap pagi, siang, malam mereka habiskan waktu bersama. Bercanda gurau saling memberitahu apa – apa mengenai masing – masing diri mereka. Semakin dalam dan kuat nya kebersaamaan mereka hingga lambat laun menciptakan kedekatan emosional yang entah datang tak terduga. Terasahpun belum. Bahagia sekali rasanya melihatnya dapat tersenyum begitu manis. Tertawa lepas. Semakin hari semakin senang dan ceria. Namun, disini ketidakwajaran justru semakin terlihat jelas.
******                                                                                    
Hati hati sekali Ia menyelusuri jalanan. Bersama berpetualang dengan kawan barunya, sesekali mengikuti kawannya meminta minta pada orang – orang berdasi di depan gedung berlantai tingkat puluhan, ataupun pada orang – orang yang melewatinya sepanjang jalan. Kadang juga hanya bermodalkan tutup–tutup botol minuman cukup mengiringi lirih suaranya dalam bernyanyi pada tempat makan satu ke tempat makan yang lain. Selalu begitu berulang tiap hari.
Tak ada kebosanan. Tak ada kejemuan dalam benaknya. Tak ada sedikitpun yang terlintas untuk kembali, hanya satu hal yang membuatnya selalu merasa terganjal. Kertas lusuh yang sempat ia curi dari dalam tas ibunya sewaktu sedang sibuk mencuci, beberapa lalu sesaat Dipa dijatukan hingga eggan dipisahkan. Potretan wajah sumringah seorang laki – laki gagah cukup mengobati sedikit kerinduannya terhadap lelaki setengah baya yang selalu terbayang akan kerinduan dan dihadirkan dalam tiap malam menjelma menjadi bunga mimpi-mimpinya.
*******
“ Ambil saja, ini untukmu. Aku lihat kau begitu lelah dan haus.”
“ Jangan hiraukan aku, yang terpenting kamu dapat kembali benyanyi bersamaku lagi. Ayo.. ambilah saja, segera minum dan telan permen pahit penyembuh itu. Aku tak mau melihatmu layu seperti ini. Mukamu nampak kian memutih dan dingin. Cepatlah jangan kau hiraukan aku.”
Pancaran matahari siang itu begitu terik. Kering. Dan terasa sangat gersang. Panas akan sangat cepat mejalar dan menyambar tiap siapa saja yang hendak menghadang dan berhadapan dengan bola panas kokoh yang tergantung di langit itu.
 Negosiasi yang ia lakukan bersama kawannya sangat pelik. Setengah botol air mineral yang dibeli menggunakan uang bersama kini harus direlakannya untuk sang kawan. Kekhawatirannya nampak begitu kuat. Enggan terlepas dari kawan sejatinya.
Sesekali ia memperhatikan kawannya dengan penuh simpati. Dalam penglihatannya terkapar begitu payah. Segala cara dan usaha ia jalankan. Tak pernah lengah detail memperhatikan apa yang dibutuhkan olehnya. Sibuk dengan kesendiriannya.
*****
Dibawah pohon taman kota ia menggelar koin–koinnya. Menikmati udara panas yang kian terasa sejuk. Sesekali bercanda gurau saling menyerang ejekan satu sama lain. Bersamaannya lah yang ia damba–dambakan. Keinginan saling menjaga juga lah yang selalu menjadi semangat perkawanan nya.
Detik melewati menit,  menit berganti jam, jam melanjutkan pada hari, hari – hari telah ia lalui. Berminggu. Berbulan bulan. Ia selalu merasa ditemani, ia tidak pernah lagi merasa sepi. Waktu telah membawanya ke bayangan lain, bayangan ciptaannya sendiri yang tak terlekang tanpa batas. Waktupun tak menyisakan kesadaran bahkan kegamangan.
Ia melangkah, melenggang santai beriringan dengan penuh tawa. “Beriringan”. Selalu berdua. Berdua dalam satu. Bersatu dalam dua bayangan. Penuh imajinasi dalam fikiran.
Dipa pun tercipta menjadi kawan setia ilusinya yang dijadikannya begitu nyata.
*****
Senja menaburkan semerbak sisa–sisa titik cahaya sang surya. Angin malam siap menjemput dan menjelmakan hari menjadi gelap. Dinginya udara tak lekas hendak membuatnya melenyapkan ilusi–ilusi dalam angan angannya. Akan selalu hidup dalam bermimpi. Selalu setia tak akan pernah dapat terpisah. Lagi.


Bandung, Maret 2011

Riuh Bersenandung Rindu

Hujan..
Riuh menggebu biru auramu
Berselimut pekat pada kabut langit
Bersama setia pada malam

Angin..
Berharap deru melenyapkanku dari beku
Seulas wajah penuh  rasa
Selalu tersipu dalam mimpiku yang penuh haru

Malam..
Kini lamunan panjang bersatu pada perjalanan
Menggebu lama tak kunjung runtuh
Memetas jala menunggu tak pernah jera

Rindu..
Sejenak ku torehkan seulas senyuman mengembang yang telah lusuh
Mencoba menggapai walau tak pernah sampai
Tahukah kau.. ?
Jemu penuh lesuh  dalam  relung kalbuku








@ angan tanpa batas.
2011
drizka83@yahoo.co.id

Kidung yang Terhempas

Kini ia benar benar telah sendiri
Merasakan kesunyian malam dengan dingin nya hembusan
Melewati jurang yang lantas dapat terlewatkan

Kini ia bagaikan senja di pelabuhan senyap
Tak dapat merasakan lagi kesejukan sepoi angin dan nikmatnya alunan deru debu mesiu
Hanya deburan ombak yang selalu setia tak akan terpisah
Hanya kicau burung yang melewatinya begitu saja

Senyap kini begitu menerpa
Guratan – guratan kekuatan yang nampak mulai gusar

Diterjangnya ia karang, dihampirinya ia badai, disapunya buih buih yang menghadang
Menerjang terjang dalam kesendirian dan keterbatasan

Kini ia mencoba berjalan
Terus berjalan hingga lelah

Menyelusuri lembayung fajar yang tak kunjung tiba

Menyeka keringat dengan air mata

Tak satupun pencarian itu dapat ia temukan
Tak di dapatinya semua pengharapan sekedar untuk naungan
Hanya siulan badai yang selalu bersedia bersama
Gemuruh pilu tak kunjung enyah

Dalam batas putaran kesempatan dan sisa waktu
Selalu ia coba telusuri pencarian yang sampai kini hanya memenuhi sebuah ingatan pencarian ilusi
Sungguh terasa gerah berada pada sisi – sisi jurang pemisah yang akan selalu menghasilkan celah kesalahan yang ada
Begitu sulit dan berat mencoba mengerti dan menjauhi iliusi – ilusinya
Hanya dirinyalah yang merasa , hanya hatinyalah yang selalu resah

“ Bohong ! semua hanya sekedar penutup kekecewaanmu belaka !”
“ Diam ! kau tak akan pernah bisa diam dalam tenang !”
“ Cari ! cari dan telusuri jangan hanya bisa bersembunyi !”

Bisikan – bisikan yang Ia lontarkan sendiri bagai campuk yang begitu perih
Mencoba memberi aba – aba

Dikerahkannya segala kekuatan sekeras baja
Kembali menatap tegap

Tapi..
Kehendak tak selalu sama,
Tak akan pernah sanggup membelah dengan hanya ditemani sebongkah keyakinan

Tak mudah mengikis segala ketakutan dengan kekuatan
Yang harusnya masih ada dan betengger kokoh tak terkoyah

Gugup ia mencari

Enyahkah  pegangan – pegangan itu? Dimana para tongkat kepercayaan yang selalu mengiringinya ? Di manakah kini ia harus sandarkan sejenak bahu nya yang mulai pegal ?
Tertunduk lemas.. Tak dapat sekejap menengadahkan wajah
Tersungkur.. kembali iba menatap keadaannya

Bagai pengemis ! Ia mencoba meringis
Mengiba pada apa yang belum  harus tergenggam oleh tangannya
Penuh harap bagai hina terus meminta

Tanpa disadari para ilusi – ilusi itupun
Telah banyak menyakiti !

Tiba dengan tak terduga secercah cahaya mentari seketika membangunkannya dari mimpi panjang
Uluran hangat penuh dekap
Terus merengkuh
Tanpa bias. Tak pernah lepas
Dalam.. dalam pelukkan penuh ketenangan

Perlahan.. tapi pasti
Ia tegapkan kembali janji janji nya mengibur diri

Hingga nyata
Mendapatkan kembali tatap – tatap mata penuh rona

Ia.. kembali
Kembali mencoba berdiri dibawah panji – panji para syuhada beriring sejuk nya hembusan pagi

Lelah panjang hari ini
Tak akan lagi pernah terjadi
Harap kau yang selalu ada. Menemani di sisi

Karena..
Tak akan pernah merasa berjuang dengan sepi sendiri
Karena..
Selalu setia berkawankan keikhlasan dan keyakinan yang akan terus mengiringi.


@ Angan tanpa batas.
Safar 1432 H
drizka83@yahoo.co.id

Sebatas permohonan yang mendalam... oleh Rizka Dewi Nur Oktaviani

Aku tak kan dapat menerangi malam seterang cahaya rembulan
Aku tak akan dapat menandingi kerlip indahnya para bintang
Aku tak akan dapat menyejukkan pagi sesejuk embun di pucuk daun
Aku tak akan dapat pernah bisa menandingi merdunya kicauan burung dipagi hari


Aku hanyalah kesunyian yang selalu menepi di tepi badai ombak
Aku hanyalah pelukis mimpi diatas kanvas kehidupan
Aku hanyalah gelap yang padam
Aku hanyalah dingin yang selalu berselimut setia pada malam
Aku hanyalah se-onggok daging yang bertaburkan bumbu – bumbu dosa yang hampir melepuh


Aku hanyalah manusia yang begitu tidak sempurna

Begitu jauh tak akan sempurna
Dari segala ke agungan-NYA ...



Bndng, 13 Juli 2010
Green Yellow 43E

Kisah yang memilukan ………. Oleh : Rizka D.N Oktaviani

19 Juni 2008..




Betapa tidak bahaginya hatiku ini, Ketika aku sedang mengikuti perlombaan dongeng berbahasa Cirebon yang di selenggarakan oleh Badan Komunikasi dan Kebudayan Kepariwisataan (BAKOMBUDPAR) Cirebon, yang Alhamdulilah aku dapat meraih juara ke-3, walaupun tidak dapat mempertahanan gelarku tahun lalu sebagai juara ke-1, namun aku tetap bersyukur masih diberi kesempatan untuk menduduki urutan ke-3. Pada saat acara perlombaan usai, ketika aku masih berbincang bincang dengan peserta lainnya yang kebetulan pada waktu itu belum membubarkan diri, tiba – tiba seorang wanita muda menghampiri kami, ternyata beliau adalah pegawai BOKOMBUDPAR yang mungkin sedang mendapatkan suatu tugas untuk mempromisikan suatu event, lalu aku dan peserta yang lainnya ( tentunya yang beruntung) diberikan sebuah tawaran untuk mengikuti perlombaan lagi, tapi dalam kategori pidato namun tetap dalam ruang lingkup yang sama, yaitu Lomba berpidato Berbahasa Cirebon, lalu pegawai Bakombudpar itupun menambahkan bahwa perlombaan ini akan diadakan tepat pekan depan dihitung setelah perlombaan ini, akupun menyanggupi untuk mengikuti perlombaan ini( “Berarti aku hanya memiliki 6 hari lagi” pikirku dalam hati) Lalu beliau juga mengatakan bahwa peserta yang mengikuti perlombaan yang diselenggarakan oleh DISBUDPAR Jawa Barat ini akan mendapatkan bimbingan khusus dan akan dikarangtinakan selama 2 hari 1 malam di Hotel Apita Green Cirebon, waw .. terbayang olehku menginap gratis di hotel berbintang 4.
“Beruntungya aku … “ ucapku dalam hati. Betapa tidak ? Karena peserta pada perlombaan kali ini tidak hanya dari kabupaten/kota Cirebonnya saja, namun juga terdiri dari Kab/Kota Cirebon, Kab/Kota Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Dan peserta dari tiap Kab/Kota pun dibatasi. Setiap Kab/Kota tersebut cukup mengirimkan perwakilannya maksimal 10 peserta saja, dan aku termasuk orang yang terpilih untuk mewakili Kab. Cirebon.
Akupun menyanggupi untuk mengikuti perlombaan pidato tersebut. Dalam tekadku aku berjanji tidak akan menyia – nyiakan kesempatan ini .

****************************************

Hari demi hari telah aku lalui, namun belum ada kesempatan bagiku untuk membuat kerangka naskah pidato yang untuk diperlombakan tersebut . Waktu aku yang aku miliki hanya tinggal 4 hari lagi, namun tiba – tiba aku ditugaskan oleh pembimbing eskulku di sekolah untuk mengatur suatu event yang memang itu sudah menjadi tanggung jawabku, aku tidak berani menolak, karena rasa setiaku dan kepercayaan yang besar yang telah diberikan oleh pembimbingku kepadaku, akupun menyanggupi untuk mengambil alih mengatur event tersebut

Selesailah tugasku. Waktu ku hanya tinggal 3 hari lagi, karena waktu yang begitu mepet akupun terpaksa merepotkan ibuku lagi, yah .. ibuku seperti biasanya, dongeng – dongeng yang aku lombakan dulu di buatkan oleh ibuku, kali inipun sepertinya begitu.
Akhirnya selesai sudah naskah yang buat, ibukupun segera memberikanya padaku dan beliau berpesan agar depat secepat mungkin untuk aku menghafaklannya karena waktu yang kita miliki sangat minim.
Namun tiba – tiba aku rasakan otakku lelah, fisikku lemah setelah menghafal dongeng yang panjang dulu lalu mengurus tanggung jawabku dan mengerjakan tugas – tugasku yang belum terselesaikan.

----------------------------------------------------------------

Hanya tinggal 1 hari lagi. Namun, akupun tidak tahu mengapa susah sekali rasanya otakku menghafalkan pidato ini, akupun pesimis untuk mengikuti perlombaan. Namun bagaimanapun juga aku harus tetap berjuang, karena sekali lagi ini adalah esempatan emasku. Yah … SEMANGAT !!!

-----------------------------------------------------------

Hari H itupun tiba. Meskipun aku masih ragu. Namun aku tetap berkata dalam hati. Insya Allah BISA !
Acara di mulai pukul 10.00 WIB. Namun pukul 08.00 aku masih berada dalam rumahku dan sama sekali belum bersiap – siap. Mengapa ? Mendadak dari tengah malam tadi penyakit yang aku derita kumat alias kambuh. Mag. Aku panik mengapa bisa kambuh di saat seperti ini ? Kupikir mungkin karena otakku lelah+grogi+stress memikirkan kesiapan yang sama sekali belum maksimal.
Kupaksakan pukul 09.00 WIB aku berangkat menuju Hotel Apita.
Akupun meluncur dengan motor bututku yang dikendarai oleh ibuku, yah.. ibuku, siapa lagi ? Dari dahulupun bahkan sedari kecil jikalau aku mengikuti perlombaan – perlombaan ibuku yang selalui sibuk membuatkanpersiapannya dan ibuku juga yang selalu mendampingiku, meskipun ia harus meninggalkan tugasnya sebagai pengajar. Dan aku terus meluncur walaupun tidak sepeserpun biaya transport dari sekolah yang aku terima untuk memperjuangkan nama kebanggaan sekolahku ini.
Alhamdulilah aku tiba di Hotel Apita dengan selamat. Aku mendapatkan nomor urut 11 dan itu berarti aku mendapatkan waktu untuk berlomba pada session pertama yaitu pukul 12.30 sampai dengan pukul 15.00.

-----------------------------------------------

Pukul 11.30 … telah selesai tehnical meeting. Selanjutnya seluruh peserta dipersilahkan untuk merapihkan barang bawaannya di kamar yang sudah disediakan masing – masing. Dan dengan berat hati akupun melepaskan kepulangan ibuku yang pada saat itu beliau tidak dapat mendampingiku hingga akhir perlombaan karena harus menyelesaikan suatu masalahnya sebagai pengajar .Maka aku gunakan waktu istirahatku itu untuk berta’aruf dengan sesama peserta. Pada saat itulah aku mendapatkan banyak sekali teman baru baik dari dalam maupun luar daerahku.

**************************************

Kutatap sekeiling kamarku dengan penuh perhatian, senangnya hatiku ini kulihat kamarku rapih, ber AC, telah tersedia televisi yang besar dan kamar mandinyapun mewah, urusan makan ? ( 1 hari = 3 X makan, 2 hari = 2 X 3 = 6. Dijamin .. dan cemilan ringan malam, pagi,siang = 6 kali. Tenang .. Begitulah perhitunganku . hheu ). Bayangkan betapa senangnya hatiku ini saat itu, akhirnya aku bisa merasakan yang namanya surga dunia walaupun hanya sesaat. Pikirku dalam hati . ( ^_^ )

--------------------------------------------------------------

Tiba waktunya, para dewan juri memberikan keringanan bagi peserta yang belum hafal sekali naskah, peserta tersebut diperbolehkan untuk membawa teks naskahnya disaat perfome di depan.
Aku berniat untuk tidak membawa naskah, namun dalam latihan aku merasa grogi dan gemetar sehingga banyak sekali kalimat –kalimat yang terlupa dan tidak sesuai teks, dan akhirnya terpaksa akupun memutuskan untuk berpidato dengan membawa teks.
Saat itu tiba waktunya bagiku untuk menampilkan kemampuanku, dengan bismilah akupun maju menghadap kedepan peserta dan para dewan juri
Aku sampaikan semampuku, aku coba menutupi rasa gemetarku ini dan .. ups . tiba – tiba aku lupa dengan kalimat berikutnya, matakupun langsung tertuju pada kertas yang ada di tanganku, berlanjut seterusnya hingga aku hitung 6 kali sudah aku melihat teks.oh my god. Ini vatal !

----------------------------------------------------

Hufff …. Akhirnya selesai juga aku berpidato, akupun turun dari mimbar menuju tempat duduku dengan iringan senyuman sumbang.
Ketidakpuasan hatiku inipun terpancar tentunya didampingi dengan rasa kekecewaanku yang mendalam. Yah .. kupasrahkan semua pada-Nya dan dalam hatiku berbisik lirih ..... ”Maafkan aku teman – teman, maafkan cucumu ini nek .. maafkan aku mamah……”
Selanjutnya aku tutupi perasaanku ini dengan bercanda gurau bersama teman – teman baruku, kekecewan dan kesedihanku pun sedikit terlupakan.

----------------------------------------------------


Malam harinya aku diminta oleh salah satu orang temanku untuk menemaninya makan malam di luar hotel, kamipun keluar mencari warung – warung kecil di pinggir jalan, karena kata dia makanan yang dihidangan oleh hotel tidak enak. Hi .. hi .. dasarnya sih lidahnya katro, ejekku. Yah ….. aku pun beranjak.
Asyiknya menikmati keindahan malam dikeramaian kota. Apalagi ditemani oleh ayam goreng lamongan yang sudah dihidangkan di hadapanku lengkap dengan lalaban serta sambal cocol nya yang dari aroma nya pun sudah menggugah selera siapun yang menciumnya.
Selesai menghabiskan hidangan ala Lamongan, kenikmatan sambal cocol dan ayam goreng masih terasa oleh kami berdua, tiba – tiba penjaga warung lamongan tersebut memanggil kami dan berkata “Dik .. boleh minta nomer handphonenya engga?” Hi .. hi .. ada – ada saja deh mas – mas ini, kami tidak menggubrisnya.
Tanganku menyentuh saku underrokku hendak mengeluarkan handphone, tapi… handphone yang aku simpan dalam underokku tiba-tiba tidak ada, otomatis aku panik dan mencoba mencarinya, mungkin jatuh di warung lamongan tadi, tapi, ternyata tidak ada. Kami kembali ke jalan depan hotel pun tidak ada, lalu aku bertanya pada bapak–bapak tukang becak yang mangkal di depan hotel pun, “Tidak tahu.” Katanya. Aku panik, bingung, aku yakin kalaupun iya jatuh, jatuhnyapun tidak akan jauh dari halaman depan hotel, karena kami berdua tidak pergi kemana – mana dan hanya makan sebentar dan sewaktu aku baru keluar hotel hendak menuju warung lamongan baru saja aku mengangkat telfon dari ibuku. Oh tidak ! Handphone yang aku bawa itu bukan miliku, dan sekarang sudah tidak ada di tanganku lagi… Temanku mencoba menelfon, aktiv …! Tapi.. aaw…di rejeck ! kembali dia menelefon, namun ... o oww .sudah tidak aktiv lagi, terus berkali – kali hingga tak terhitung lagi, namun tetap sudah tidak aktiv.Mati. Berpuncaklah kekhawatiranku, aku bingung, dan tak terasa air mata sudah memenuhi pipiku. Oh Tuhan …
Akhirnya aku kembali ke kamarku dengan hati yang tidak karuan. Air mata masih terus mengalir deras ( lebbayy .. hheu ), temanku mencoba menenangkanku, namun usahanya tidak sedikitpun berpengaruh bagiku. “Ya Allah.. itu handphone kakakku bukan punyaku, bagaimana caranya aku untuk menggantikannya … ?”
Aku pun tertidur dengan selimut kesedihan.

**************************************

Keesokkan harinya aku bisa menutupi kesedihanku karena teman – temanku dan jamuan – jamuan yang telah dihidangkan. Pagi itu session ke 4 loma berpidato berbahasa cirebon digelar, ( maklum karena banyaknya peserta ) siang harinya disambung oleh pengumuman pemenang – pemenang.
Aku pesimis dalam kemenangan lomba ini, namun tetap dalam hatiku berkata, “Dalam kalimat tidak mungkin terdapat kata mungkin”
Tiba saatnya pengumuman, seluruh peserta tegang, jantungnya berdegup kencang, sama halnya denganku, dengan harap – harap cemas aku mengharapkan datangnya sebuah keajaiban, karena jika dilihat dari kualitas penampilan para peserta mayoritas sudah memenuhi kategori sebagai juara, penyampaianya amatlah baik, dan yang pastinya juri mengutamakan yang tidak membawa teks yang akan dijadikan sebagai juara.
Juara harapan 3 sudah diumumkan, bukan Rizka. Juara harapan ke dua juga bukan atas nama Rizka. Juara harapan 1 bukan nomor 11, juara 3, bukan ! bukan ! Dan bukan !!!!.... pupus sudah harapanku, kekecewaan ini semakin menggunung, aku hanya bisa menggelengkan kepala.

*************************************

Selesai pengumuman pemenang-pemenang, selesailah sudah seluruh rangkaian acara pada perlombaan . Semua dipersilahkan merapihkan kembali peralatan – peralatan yang di bawa dan chek out dari Hotel. Bersalam – salaman dan bakal berkangen – kangenan, itulah yang kulakukan dan yang kurasaan dalam perpisahan ini. Akupun keluar menuju kembali ke rumah indahku di Jemaras.
Sepanjang perjalanan aku menangis dalam kesendirian. Meratapi nasib ini. “Sudah penampilan lomba tidak bagus, menghilangkan handphone orang dan tidak mendapatkan juara kategori satupun ????” Oh .. tidak ini adalah kabar buruk bagi semuanya. Sekali lagi maafkan aku semuanya, ingin sekali rasanya aku untuk segera sampai rumah, ingin rasanya kutumpahkan semua kesedihanku ini.
Sesampainya di rumah aku menangis sepuas – puasnya, hingga tersedu – sedu dengan hebatnya. Ku rasa inilah nasib yang paling buruk yang pernah aku alami selama hidupku. Keluargaku memaafkanku dan tetap mensuport. Mungkin ini sudah takdirku. “Yah .. terimalah dengan lapang dada ..” Ucap ibuku dengan elusan lembutnya.

Akhirnya …………….

Dengan kejadian ini .. akupun menyadari, mungkin banyak sekali kesalahan – kesalahanku ini hingga Allah menegurku .
Yah .. akhirnya aku hanya bisa memetik hikmah yang terkandung dalam kejadian ini. Akhirnya juga aku mengerti , keteledoran sekecil apapun harus kita hindari agar tidak salah dalam berbuat. Dan yang tidak kalah penting, jika kita menjalani sesuatu pekerjaan janganlah pernah melakukannya dengan setengah hati, kita harus fokus pada yang sedang kita jalani sekarang ini, konsentrasi dan kerahkan segenap kemampuan yang kita milik untuk menyukseskannya. Dan ingat, harus tetap bisa membagi waktu.
Ternyata pengalaman itu memberikan pelajaran yang sangat berharga bagiku. Yah .. meskipun akhir pengalaman ini tidak bahagia. Namuun teyap aku tidak akan pernah menyesali apa yang sudah terjadi.(lumayan loh … 2 hari menginap gratis di Hotel. Hehehe..^ - ^ )
Dalam benakkupun tidak akan pernah ada kata patah semangat. Selama darahku masih mengalir dan jantung ini masih berdetak ku akan tetap terus berkarya dan BERPRESTASI !!! Yeah … Ok’s ??


drizka83@yahoo.co id

Tingkatkan kualitas serta kuantitas para pencerdas generasi bangsa Oleh : Rizka D.N oktaviani

Di zaman kemajuan teknologi yang begitu pesat seperti sekarang ini nyatanya tidak di imbangi oleh kemajuan pendidikan, yang sesungguhnya pendidikan adalah suatu hal yang mutlak untuk didapatkan terutama bagi generasi penerus bangsa demi kemajuan negara itu sendiri..
Begitu banyak masalah pendidikan yang ada di Indonesia ini, salah satunya adalah rendahnya kualitas serta kuantitas Sumber Daya Manusia sebagai pendidik. Salah satu syarat untuk mencerdaskan generasi adalah seorang pendidik haruslah cerdas terlebih dahulu sebelum mencerdaskan, bagaimana murid itu mau mengerti kalau pengajarnya sendiri kurang mengerti pada apa yang ia terangkan.
Selain itu juga jumlah generasi muda yang harusnya mendapat didikan secara merata tidak sebanding dengan jumlah para pendidik yang ada. Salah satunya adalah pengajar guru Sekolah Dasar (SD) yang faktanya jika di bandingan dengan Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) dan Sekolah Menengah Atas ( SMA ) itu jauh lebih banyak hampir 1 : 8, coba saja kita hitung, biasanya Sekolah Dasar pada satu desa mempunyai minimal 2 sekolah dan jika dalam satu kecamatan itu memiliki 8 Desa berarti rata – rata dalam satu kecamatan memiliki 16 Sekolah Dasar, jauh lebih banyak pendidik SD di butuhkan jika dibandingan dengan SMP dan SMA yang biasanya hanya ada satu sekolah dalam satu kecamatan. Hal itu terjadi karena minimnya minat para calon pendidik di SD serta kurangnya wadah / fasilitas dan sosialisasi terhadap perekrutan para pendidik SD.
Maka dari itu salah satu progam studi ( PRODI ) yang dimiliki oleh Universitas Pendidikan Indonesia ( Universitas terbaik ke-4 se-Indonesia ) ini adalah adanya bimbingan khusus bagi calon pengajar di Pendidikan Sekolah Dasar yaitu PGSD S1 ( Pendidikan Guru Sekolah Dasar , Strata satu ). Ini adalah salah satu bentuk serta bukti kepedulian terhadap kelangsungan serta kemajuan pendidikan di Indonesia, khususnya di tingkat Sekolah Dasar.

drizka83@yahoo.co.id